Senin, 11 Februari 2013, Senin, Februari 11, 2013 WIB
Last Updated 2022-05-11T04:08:33Z
NewsWisata Budaya

Sekilas tentang Masjid Raya Bingkudu di SUMBAR

Advertisement
Keberadaan Masjid tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di Minangkabau. Sebab sebagai salah satu tempat ibadah, masjid merupakan bangunan suci yang mesti ada pada suatu daerah ataupun perkampungan yang berpenduduk muslim.

Menurut data yang dimiliki oleh Departemen Agama Provinsi Sumbar, dewasa ini terdapat sekitar 5.682 unit masjid di SUMBAR, beberapa diantaranya merupakan masjid-masjid bersejarah yang tekah berumur berumur ratusan tahun, yang nyaris terlupakan. Yang terlupakan, karena di samping gencarnya pembangunan masjid-masjid baru, kurangnya perawatan dan renovasi, membuat “surau-surau” tua itu tenggelam dimakan usia. Padahal dulunya, selain sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan tempat belajar. Tak jarang, para alim ulama, cerdik pandai, dan tokoh-tokoh besar negeri ini lahir di didik di masjid. Mulai dari belajar tentang agama, adat istiadat, ilmu beladiri silat, tempat musyawarah, serta banyak kegunaan positif lainnya.

Masjid-masjid tua yang kita temukan dan masih digunakan seperti di Sumatera Barat, memberikan gambaran bahwa proses akulturasi yang harmonis telah terjadi antara budaya lokal atau pra Islam dengan budaya yang datang kemudian. Sehingga tidaklah heran jika kita lihat adanya keterpaduan antara unsur lokal dengan budaya luar seperti Jawa, Melayu, Timur Tengah, Cina, India dan Eropa.

Dahulu, masjid tidak hanya diramaikan oleh para orang tua saja, tetapi juga merupakan tempat berkumpul anak-anak muda. Di Minangkabau dahulunya, seorang anak lelaki yang telah mencapai usia akil baligh pantang untuk tidur di rumah orang tuanya. Mereka hanya menempati rumah orang tuanay di siang hari.

Namun, dewasa ini pemandangan yang kita lihat di masjid-masjid telah jauh berbeda. Nyaris tidak ada anak muda yang tidur di surau, mempelajari agama dan menghidupkan masjid dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Kehidupan masyarakat memang telah berubah. Maka tinggallah masjid-masjid bersejarah tersebut dalam kesunyian dan menjadi lapuk seiring perkembangan zaman.

Salah satu masjid tua yang masih kita temui saat ini adalah Masjid Raya Bingkudu di Jorong Bingkudu, Nagari Canduang Koto Laweh, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Menurut cerita masyarakat setempat, masjid beratap ijuk ini dibangun pada tahun 1813 yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh tujuh nagari. Ketujuh nagari itu adalah Canduang, Koto Lawas, Lasi Mudo, Pasanehan, Bukit Batabuah, Lasi Tuo. Masyarakat setempat secara bersama-sama membangun masjid seluas 21 x 21 M dengan tinggi 37,5 meter ini. Yang menarik, hampir semua material yang pergunakan untuk membuat tempat beribadah ini berasal dari kayu, dari lantai, dinding, maupun tiang-tiangnya. Sedangkan atapnya yang berundak tiga, terbuat dari susunan ijuk.


Bangunan masjid dibangun dengan memakai sistem pasak. Artinya tidak satupun dari komponen penyusun masjid ini yang dilekatkan satu sama lain dengan menggunakan paku. Lampu-lampu minyak yang yang terpajang pada setiap sudut masjid rata-rata juga sudah menjadi barang antik, karena telah berumur ratusan tahun. Pekarangan di sekitar masjid cukup indah. Tiga kolam ikan, serta satu kolam besar untuk berwudhuk membuat kesan masjid yang cukup jauh dari pemukiman penduduk itu semakin alami. Dulunya air untuk berwudhuk dialirkan dengan bambu sepanjang 175 meter dari kelurahan. Namun sekarang untuk memperlancar aliran air, salurannya diganti dengan pipa besi.

Selain itu, pada pekarangan masjid juga terdapat sebuah menara dengan ketinggian 30 meter. Seperti kebanyakan masjid yang ada, menara ini digunakan untuk mengumandangkan azan, terutama saat belum ada pengeras suara. Sementara di halaman masjid terdapat makam Syech Ahmad Thaher, pendiri sekolah pendidikan Islam yang lebih dikenal dengan MUS (Madrasah Ulumi Syriah). Beliau wafat pada tanggal 13 Juli 1960.

Di tahun 1957, atap masjid yang terbuat dari ijuk, diganti masyarakat dengan seng. Itu dilakukan karena ijuk yang yang melindungi ruangan masjid dari hujan dan panas telah lapuk. Dua tahun kemudian dilakukan renovasi dan pemugaran terhadap bangunan masjid yang lainnya. Menurut Kepala KUA Candung, Ramza Husmen, pada tahun 1999, masjid ini diserahkan kepada Pemkab Agam, dan ditetapkan sebagai salah satu bangun cagar budaya di Agam. Dua tahun setelah itu, masjid mengalami pemugaran secara keseluruhan. “Atapnya yang dulu seng dikembalikan ke ijuk. Kemudian bagian-bagian yang lapuk diganti dan serta dicat lagi sebagaimana aslinya,” ujar Ramza. Aktivitas keagamaan tetap berlangsung di tempat ini. Baik untuk shalat berjamaah setiap hari, shalat Jumat, serta ibadah lainnya. Ketika kami melakukan shalat Jumat di masjid ini bulan November 2012, pengurus Masjid mengharapkan uluran tangan warga untuk membantu biaya perbaikan atap ijuk masjid yang akan dilapisi dengan aluminium foil.